Halangan Bukan Alasan Untuk Menyerah!
Adalah sosok-sosok cendekiawan seperti Soekarno,
Roosseno, dan Prof. Dr. Ir. Wiratman Wangsadinata yang menginspirasi Ir. I
Wayan Sengara, MSCE., Ph.D. mantap memilih jalan hidup Sebagai seorang
rekayasawan sipil. Dengan mengambil jalan yang sama dengan sosoksosok tersebut
akan menjadi tantangan tersendiri bagi Wayan muda. Pada tahun 1980, Institut
Teknologi Bandung (ITB) menjadi tempat beliau menuntut ilmu ketekniksipilan
hingga selesai sampai tahun 1985.
Melalui bimbingan Fransiscus Xaverius Toha dan
Prof. Sosrowinarso, Wayan Senggara berhasil menyelesaikan tugas akhirnya
mengenai pondasi, topik yang berbeda dengan kelompok keahlian yang ditekuninya
saat itu. Namun, tantangan tidak lantas membuatnya menyerah. Justru, tantangan ini
dijawab dengan menjadi lulusan pertama di angkatannya. Karena lulus tercepat,
beliau menyadari bahwa usianya masih sangat muda, sehingga keinginannya untuk
melanjutkan pendidikan masih sangat menggebu.
Sebelum melanjutkan pendidikan tingginya, Wayan
Sengara sempat menjadi asisten dosen dari Prof. Sosrowinarso selama 1,5 tahun
sebagai asisten laboratorium mekanika tanah. Baru pada tahun 1986, Wayan
mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan masternya dengan beasiswa
dari Pusat Antar Universitas (PAU) ITB di University of Wisconsin-Madison,
United States.
Beliau bercerita bahwa terdapat hal yang unik
saat ia menjalani pendidikan di Amerika. Beliau mengambil dua jurusan yang
berbeda, major di bidang Civil and Enviromental Engineering dan minor di bidang
Mechanics Engineering untuk memperkuat wawasan tentang topik tesis yang
diambilnya, yaitu soil structure interaction. Setelah berhasil menyelesaikan
pendidikan magisternya, beliau mendapatkan dua (2) gelar master sekaligus,
yaitu MSCE untuk gelar Civil and Enviromental Engineering tahun 1988 dan MSEM
untuk Mechanics Engineering pada tahun 1989. Pada tahun 1992, ia menyelesaikan
pendidikan doktornya dengan focus studi geotechnical modeling dan meraih gelar
Ph.D.
Kegempaan sebenarnya bukan menjadi fokus
utamanya, namun saat ia menyadari bahwa bidang keilmuan ini sangat dibutuhkan
oleh Indonesia yang sebagian besar wilayahnya berada di daerah rawan gempa,
setelah pulang dari Amerika, Wayan Sengara memutuskan untuk mendalaminya. Pada
tahun 1992, untuk pertama kalinya beliau terlibat dalam penelitian Gempa dan
Tsunami di Flores. Penelitiannya saat itu dilakukan bersama-sama dengan Prof.
Gde Widiadnyana Merati di bagian struktur dan Prof. Masyhur Irsyam di bagian
geoteknik. Pengalaman pertama ini kemudian memicunya untuk melakukan sesuatu
yang lebih baik lagi bagi Indonesia. Beliau prihatin karena peneliti dibidang
ini justru didominasi oleh peneliti asing. “Sangat disayangkan karena sedikit
sekali peneliti Indonesia terlibat saat itu, padahal saya yakin kemampuan kita
tidak jauh berbeda dengan para peneliti asing itu,” ucapnya mengungkapkan
keprihatinan.
Keprihatinan itulah yang kemudian memotivasinya
berikut beberapa rekannya untuk mewujudkan sebuah impian yang telah lama
dicita-citakan, yaitu mewujudkan Peta Kegempaan Indonesia 2010 (Hazard Map
2010), sebagai sumbangsih akademisi bagi perkembangan geoteknik di Indonesia.
Peta gempa tersebut dikerjakan sepenuhnya oleh para tenaga ahli dari Indonesia.
Ini sebuah catatan prestasi yang membanggakan mengingat sebelumnya Indonesia
selalu mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri, seperti New Zealand, untuk
menyelesaikan masalah–masalah kegempaan di Indonesia. Peta kegempaan ini lahir
sebagai hasil revisi peta gempa Indonesia yang lama dan digunakan sebagai dasar
untuk revisi peraturan perencanaan bangunan gedung dan non gedung yang
digunakan saat ini.
Dalam proses pembuatan peta kegempaan ini banyak
pengalaman baru dan hal menarik yang dirasakannya. Misalnya saja karena dikerjakan
oleh peneliti sendiri, maka mau tidak mau, semua orang yang terlibat
‘dipaksa’untuk belajar secara mendalam mengenai ilmu-ilmu yang diperlukan untuk
membahas kegempaan. Tim belajar dari berbagai kalangan, siapapun dan tidak
terbatas hanya dalam satu disiplin ilmu saja, multidisiplin. Interaksi antara
bidang keilmuan teknik sipil, teknik geologi, teknik geofisika, teknik geodesi
telah berhasil menciptakan sebuah proses pembelajaran dan saling menghormati
berbagai perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga justru mampu melahirkan sebuah
karya mengesankan. Sebuah pemikiran gemilang yang lahir dari berbagai
kesepakatan antara berbagai pihak yang terlibat secara intens dan penuh
totalitas didalamnya.
“Bagian yang paling membahagiakan adalah saat
peta tersebut disepakati, diakui, dan diresmikan oleh menteri sebagai peta
kegempaan Indonesia. Bagi saya dan teman-teman, semua kerja keras kami
terbayar lunas. Sisanya adalah bagaimana memastikan bahwa apa yang telah kami
hasilkan dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dan berguna bagi bangsa dan
negara ,” tuturnya bangga dan haru.
Pengalaman selama hampir 20 tahun mengajar,
Sebagai dosen diakui Wayan Sengara sebagai pengalaman yang sangat disukai dan
disyukurinya. Melalui proses ini terjadi transfer ilmu dan pengalaman kepada
mahasiswa-mahasiswanya, yang memberinya suatu kepuasan tersendiri.
Kebahagiaannya adalah saat beliau menyaksikan mahasiswanya dapat menyelesaikan
studinya dengan baik. “Disitulah letak kepuasaannya. Saya bangga dan terharu
saat melihat mahasiswa saya lulus, hal itu membuktikan bahwa usaha saya dalam
membimbing mereka tidaklah sia-sia,” tambahnya.
Tantangan baginya bukanlah sesuatu hal yang
mengkhawatirkan, namun sebuah konsekuensi perubahan, hal yang pasti terjadi.
Dalam pandangannya tantangan seharusnya disikapi tidak sebagai halangan, tapi
sebaliknya harus mampu memicu seseorang untuk lebih fokus memikirkan cara,
menemukan terobosan untuk menaklukkannya. Kreatifitas, hasil akhirlah yang pada
akhirnya akan membuktikan seberapa hebat kualitas diri seseorang. Mungkin
kualitas dan mental yang pantang menyerah ini pulalah yang membuatnya tertarik
menekuni bidang penelitian. “Rasanya luar biasa senang saat apa yang sudah kita
hasilkan dan dimanfaatkan oleh orang yang membutuhkan”.
Selain sebagai akademisi, Wayan Sengara juga
banyak mengambil peran dalam dunia profesional. Saat ini, beliau juga menjabat
President of Indonesian Earthquake Engineering Associationdan Director in
International Association of Earthquake Engineering. Saat terlibat dalam revisi
peta kegempaan Indonesia 2010 bersama Prof. Masyhur Irsyam, beliau menjabat
sebagai vice chairman. Sepanjang karir profesionalnya, Wayan Sengara sudah
banyak terlibat dalam berbagai proyek yang melibatkan keahliannya.
Keterlibatannya dalam desain pondasi bangunan Gedung Amartapura yang pada waktu
itu merupakan gedung tertinggi di Indonesia, menurutnya, merupakan pengalaman
yang berkesan. Gedung 52 lantai yang dimiliki swasta ini dianggapnya sangat
menantang. “Tantangan terbesarnya adalah bagaimana mendesain struktur dengan
tingkat keamanan yang tinggi namun tetapi tetap harus ekonomis. Ini tantangan
sekaligus sisi menariknya,” ucapnya bersemangat.
Saat ini, Wayan Sengara sedang menyusun
kelengkapan persyaratan guru besarnya. Berbekal visi mengembangkan keilmuan geoteknik
yang unggul dengan didukung perkembangan ilmu pengetahuan dan penelitian, serta
memastikan apa yang telah ada dapat disampaikan kepada masyarakat luas, Wayan
Sengara ingin memberikan kontribusi yang lebih besar lagi bagi masyarakat luas.
Menanggapi seratus tahun Teknik Sipil ITB pada
tahun 2020 nanti, Wayan Sengara menilai bahwa keilmuan teknik sipil ITB
mengalami perkembangan positif. Keilmuan teknik sipil Indonesia, khususnya di
ITB, tidak tertinggal dibandingkan dengan negara lain, at least, tingkat
regional. Hanya saja, seringkali kondisi infrastruktur dan atmosfer akademik
pendidikan di Indonesia kurang mendukung perkembangan keilmuan kita.
Harapannya, sistem belajar-mengajar yang kondusif bisa tercipta di Indonesia.
Dengan batasan yang sama, kemampuan lulusan kita masih mumpuni.
Sistem yang baik tanpa didukung sumber daya yang
berkualitas tidak berarti. Yang menjadi kekurangan peserta didik kita adalah
motivasi. Mahasiswa kita dewasa ini kehilangan motivasi, sehingga tidak tahu
apa yang sudah dan akan dilakukannya. Menghadapi tantangan yang ada di masa
depan, sudah selaiknya mahasiswa teknik sipil sebagai aset potensial dalam
pembangunan infrastruktur bangsa memiliki motivasi yang besar untuk mencapai
sesuatu yang sudah ditetapkannya.
Keseimbangan pengaplikasian Tri Darma Perguruan
Tinggi perlu dijaga. Porsi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat
perlu diatur sedemikian rupa sehingga masing-masing komponen berjalan sesuai
porsinya, tanpa ada yang dianaktirikan. Penelitian, komponen yang seringkali
dipinggirkan, membutuhkan dukungan dari semua kalangan; tidak hanya pemerintah
dan akademisi, tetapi juga perlu didukung oleh masyarakat sipil. Misalnya,
tentang kesejahteraan dosen dan peneliti yang kurang diperhatikan pemerintah.
Menyadari pentingnya posisi Alumni Sipil (ALSI)
dalam pengembangan kualitas pendidikan teknik sipil, Wayan Sengara menyadari
posisi strategis alumni. ALSI selaiknya dapat mengkomunikasikan dan menghimpun
alumni untuk berperan dalam pembangunan nasional. Dalam kehidupan
bermasyarakat, kesadaran akan pentingnya peran infrastruktur masih kurang
dirasakan.
Banyak variabel yang perlu diperhatikan.
Membangun infrastruktur, juga berarti memastikan bahwa apa yang kita bangun
kuat sekaligus nyaman. Inilah tantangan terbesar yang harus dihadapi semua
pelaku konstruksi sipil. “Di sinilah peran alumni dalam kontribusi
‘memasyarakatkan’ aplikasi ketekniksipilan kepada masyarakat luas,” pungkasnya.
Sumber: http://alsi-itb.org/ir-i-wayan-sengara-msce-ph-d-dosen-teknik-sipil-itb/