Minggu, 30 Agustus 2015

Ulasan Ir. I Wayan Sengara, MSCE, Ph.D. (Dosen Teknik Sipil ITB)



Halangan Bukan Alasan Untuk Menyerah!


Adalah sosok-sosok cendekiawan seperti Soekarno, Roosseno, dan Prof. Dr. Ir. Wiratman Wangsadinata yang menginspirasi Ir. I Wayan Sengara, MSCE., Ph.D. mantap memilih jalan hidup Sebagai seorang rekayasawan sipil. Dengan mengambil jalan yang sama dengan sosoksosok tersebut akan menjadi tantangan tersendiri bagi Wayan muda. Pada tahun 1980, Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi tempat beliau menuntut ilmu ketekniksipilan hingga selesai sampai tahun 1985.
Melalui bimbingan Fransiscus Xaverius Toha dan Prof. Sosrowinarso, Wayan Senggara berhasil menyelesaikan tugas akhirnya mengenai pondasi, topik yang berbeda dengan kelompok keahlian yang ditekuninya saat itu. Namun, tantangan tidak lantas membuatnya menyerah. Justru, tantangan ini dijawab dengan menjadi lulusan pertama di angkatannya. Karena lulus tercepat, beliau menyadari bahwa usianya masih sangat muda, sehingga keinginannya untuk melanjutkan pendidikan masih sangat menggebu.

Sebelum melanjutkan pendidikan tingginya, Wayan Sengara sempat menjadi asisten dosen dari Prof. Sosrowinarso selama 1,5 tahun sebagai asisten laboratorium mekanika tanah. Baru pada tahun 1986, Wayan mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan masternya dengan beasiswa dari Pusat Antar Universitas (PAU) ITB di University of Wisconsin-Madison, United States.

Beliau bercerita bahwa terdapat hal yang unik saat ia menjalani pendidikan di Amerika. Beliau mengambil dua jurusan yang berbeda, major di bidang Civil and Enviromental Engineering dan minor di bidang Mechanics Engineering untuk memperkuat wawasan tentang topik tesis yang diambilnya, yaitu soil structure interaction. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan magisternya, beliau mendapatkan dua (2) gelar master sekaligus, yaitu MSCE untuk gelar Civil and Enviromental Engineering tahun 1988 dan MSEM untuk Mechanics Engineering pada tahun 1989. Pada tahun 1992, ia menyelesaikan pendidikan doktornya dengan focus studi geotechnical modeling dan meraih gelar Ph.D.

Kegempaan sebenarnya bukan menjadi fokus utamanya, namun saat ia menyadari bahwa bidang keilmuan ini sangat dibutuhkan oleh Indonesia yang sebagian besar wilayahnya berada di daerah rawan gempa, setelah pulang dari Amerika, Wayan Sengara memutuskan untuk mendalaminya. Pada tahun 1992, untuk pertama kalinya beliau terlibat dalam penelitian Gempa dan Tsunami di Flores. Penelitiannya saat itu dilakukan bersama-sama dengan Prof. Gde Widiadnyana Merati di bagian struktur dan Prof. Masyhur Irsyam di bagian geoteknik. Pengalaman pertama ini kemudian memicunya untuk melakukan sesuatu yang lebih baik lagi bagi Indonesia. Beliau prihatin karena peneliti dibidang ini justru didominasi oleh peneliti asing. “Sangat disayangkan karena sedikit sekali peneliti Indonesia terlibat saat itu, padahal saya yakin kemampuan kita tidak jauh berbeda dengan para peneliti asing itu,” ucapnya mengungkapkan keprihatinan.

Keprihatinan itulah yang kemudian memotivasinya berikut beberapa rekannya untuk mewujudkan sebuah impian yang telah lama dicita-citakan, yaitu mewujudkan Peta Kegempaan Indonesia 2010 (Hazard Map 2010), sebagai sumbangsih akademisi bagi perkembangan geoteknik di Indonesia. Peta gempa tersebut dikerjakan sepenuhnya oleh para tenaga ahli dari Indonesia. Ini sebuah catatan prestasi yang membanggakan mengingat sebelumnya Indonesia selalu mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri, seperti New Zealand, untuk menyelesaikan masalah–masalah kegempaan di Indonesia. Peta kegempaan ini lahir sebagai hasil revisi peta gempa Indonesia yang lama dan digunakan sebagai dasar untuk revisi peraturan perencanaan bangunan gedung dan non gedung yang digunakan saat ini.
Dalam proses pembuatan peta kegempaan ini banyak pengalaman baru dan hal menarik yang dirasakannya. Misalnya saja karena dikerjakan oleh peneliti sendiri, maka mau tidak mau, semua orang yang terlibat ‘dipaksa’untuk belajar secara mendalam mengenai ilmu-ilmu yang diperlukan untuk membahas kegempaan. Tim belajar dari berbagai kalangan, siapapun dan tidak terbatas hanya dalam satu disiplin ilmu saja, multidisiplin. Interaksi antara bidang keilmuan teknik sipil, teknik geologi, teknik geofisika, teknik geodesi telah berhasil menciptakan sebuah proses pembelajaran dan saling menghormati berbagai perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga justru mampu melahirkan sebuah karya mengesankan. Sebuah pemikiran gemilang yang lahir dari berbagai kesepakatan antara berbagai pihak yang terlibat secara intens dan penuh totalitas didalamnya.

“Bagian yang paling membahagiakan adalah saat peta tersebut disepakati, diakui, dan diresmikan oleh menteri sebagai peta kegempaan Indonesia. Bagi saya dan teman-teman, semua kerja keras kami terbayar lunas. Sisanya adalah bagaimana memastikan bahwa apa yang telah kami hasilkan dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dan berguna bagi bangsa dan negara ,” tuturnya bangga dan haru.
Pengalaman selama hampir 20 tahun mengajar, Sebagai dosen diakui Wayan Sengara sebagai pengalaman yang sangat disukai dan disyukurinya. Melalui proses ini terjadi transfer ilmu dan pengalaman kepada mahasiswa-mahasiswanya, yang memberinya suatu kepuasan tersendiri. Kebahagiaannya adalah saat beliau menyaksikan mahasiswanya dapat menyelesaikan studinya dengan baik. “Disitulah letak kepuasaannya. Saya bangga dan terharu saat melihat mahasiswa saya lulus, hal itu membuktikan bahwa usaha saya dalam membimbing mereka tidaklah sia-sia,” tambahnya.

Tantangan baginya bukanlah sesuatu hal yang mengkhawatirkan, namun sebuah konsekuensi perubahan, hal yang pasti terjadi. Dalam pandangannya tantangan seharusnya disikapi tidak sebagai halangan, tapi sebaliknya harus mampu memicu seseorang untuk lebih fokus memikirkan cara, menemukan terobosan untuk menaklukkannya. Kreatifitas, hasil akhirlah yang pada akhirnya akan membuktikan seberapa hebat kualitas diri seseorang. Mungkin kualitas dan mental yang pantang menyerah ini pulalah yang membuatnya tertarik menekuni bidang penelitian. “Rasanya luar biasa senang saat apa yang sudah kita hasilkan dan dimanfaatkan oleh orang yang membutuhkan”.
Selain sebagai akademisi, Wayan Sengara juga banyak mengambil peran dalam dunia profesional. Saat ini, beliau juga menjabat President of Indonesian Earthquake Engineering Associationdan Director in International Association of Earthquake Engineering. Saat terlibat dalam revisi peta kegempaan Indonesia 2010 bersama Prof. Masyhur Irsyam, beliau menjabat sebagai vice chairman. Sepanjang karir profesionalnya, Wayan Sengara sudah banyak terlibat dalam berbagai proyek yang melibatkan keahliannya. Keterlibatannya dalam desain pondasi bangunan Gedung Amartapura yang pada waktu itu merupakan gedung tertinggi di Indonesia, menurutnya, merupakan pengalaman yang berkesan. Gedung 52 lantai yang dimiliki swasta ini dianggapnya sangat menantang. “Tantangan terbesarnya adalah bagaimana mendesain struktur dengan tingkat keamanan yang tinggi namun tetapi tetap harus ekonomis. Ini tantangan sekaligus sisi menariknya,” ucapnya bersemangat.
Saat ini, Wayan Sengara sedang menyusun kelengkapan persyaratan guru besarnya. Berbekal visi mengembangkan keilmuan geoteknik yang unggul dengan didukung perkembangan ilmu pengetahuan dan penelitian, serta memastikan apa yang telah ada dapat disampaikan kepada masyarakat luas, Wayan Sengara ingin memberikan kontribusi yang lebih besar lagi bagi masyarakat luas.
Menanggapi seratus tahun Teknik Sipil ITB pada tahun 2020 nanti, Wayan Sengara menilai bahwa keilmuan teknik sipil ITB mengalami perkembangan positif. Keilmuan teknik sipil Indonesia, khususnya di ITB, tidak tertinggal dibandingkan dengan negara lain, at least, tingkat regional. Hanya saja, seringkali kondisi infrastruktur dan atmosfer akademik pendidikan di Indonesia kurang mendukung perkembangan keilmuan kita. Harapannya, sistem belajar-mengajar yang kondusif bisa tercipta di Indonesia. Dengan batasan yang sama, kemampuan lulusan kita masih mumpuni.
Sistem yang baik tanpa didukung sumber daya yang berkualitas tidak berarti. Yang menjadi kekurangan peserta didik kita adalah motivasi. Mahasiswa kita dewasa ini kehilangan motivasi, sehingga tidak tahu apa yang sudah dan akan dilakukannya. Menghadapi tantangan yang ada di masa depan, sudah selaiknya mahasiswa teknik sipil sebagai aset potensial dalam pembangunan infrastruktur bangsa memiliki motivasi yang besar untuk mencapai sesuatu yang sudah ditetapkannya.
Keseimbangan pengaplikasian Tri Darma Perguruan Tinggi perlu dijaga. Porsi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat perlu diatur sedemikian rupa sehingga masing-masing komponen berjalan sesuai porsinya, tanpa ada yang dianaktirikan. Penelitian, komponen yang seringkali dipinggirkan, membutuhkan dukungan dari semua kalangan; tidak hanya pemerintah dan akademisi, tetapi juga perlu didukung oleh masyarakat sipil. Misalnya, tentang kesejahteraan dosen dan peneliti yang kurang diperhatikan pemerintah.
Menyadari pentingnya posisi Alumni Sipil (ALSI) dalam pengembangan kualitas pendidikan teknik sipil, Wayan Sengara menyadari posisi strategis alumni. ALSI selaiknya dapat mengkomunikasikan dan menghimpun alumni untuk berperan dalam pembangunan nasional. Dalam kehidupan bermasyarakat, kesadaran akan pentingnya peran infrastruktur masih kurang dirasakan.
Banyak variabel yang perlu diperhatikan. Membangun infrastruktur, juga berarti memastikan bahwa apa yang kita bangun kuat sekaligus nyaman. Inilah tantangan terbesar yang harus dihadapi semua pelaku konstruksi sipil. “Di sinilah peran alumni dalam kontribusi ‘memasyarakatkan’ aplikasi ketekniksipilan kepada masyarakat luas,” pungkasnya.
Sumber: http://alsi-itb.org/ir-i-wayan-sengara-msce-ph-d-dosen-teknik-sipil-itb/